Sabtu, 10 Januari 2009

Profil KH. Toha Kholili

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muntaha al-Kholiliyah, Bangkalan:

PEWARIS DAKWAH SYAIKHONA CHOLIL


"Jejak ulama terdahulu yang patut diteladani. Menjadi santri sejumlah tokoh lintas negara dan menjembatani sekat-sekat yang membelenggu umat."


Warga Pulau Madura sering dipersepsikan negatif berwatak kasar, keras kepala dan tukang tipu. Namun, siapapun akan berubah pikiran, apabila bertemu dan berdialog langsung dengan tokoh muda yang satu ini. Tutur katanya kalem, meski penuh ketegasan. Wawasannya luas karena banyak referensi dalam dan luar negeri yang dilahapnya, serta siap menerima pendapat berbeda, asalkan ada landasannya.


“Orang Madura bicara blak-blakan, apa adanya, walaupun bagi sebagian orang dipandang tidak sopan. Mereka tidak bisa bicara halus, padahal menyembunyikan kebenaran,” ujar KH Toha Kholili. Dari namanya, orang segera teringat dengan tokoh legendaris Syaikhona Cholil dari Bangkalan. Kiai Cholil (lahir sekitar 1830-an) adalah pelopor dakwah di Madura yang memiliki murid tersebar di seluruh Jawa Timur. Kiai Cholil punya seorang menantu, Kiai Muntaha, yang mewarisi pesantren di Jangkibuan. Dari garis keturunan Kiai Muntaha inilah nasab Kiai Toha muda.


Meskipun tergolong generasi keempat dari garis perempuan Bani Cholil, posisi Toha sangat penting. Ia mewarisi surat-surat, manuskrip dan buku-buku yang dulu dipergunakan Kiai Cholil untuk mendidik murid-muridnya di pesantren sederhana. Bahkan, “Saya mengoleksi sorban yang beliau pakai serta perlengkapan shalat dan sarana belajarnya. Semua itu masih milik keluarga, belum bisa diperlihatkan kepada publik,” ungkap Kiai Toha. Ia tidak ingin bila sebagian anggota masyarakat ada yang mengkeramatkan benda milik tokoh spiritual di masa lalu itu. Tapi, ia setuju apabila pemerintah daerah atau lembaga manapun yang berkhidmat kepada dakwah ingin mendirikan semacam museum perjuangan Kiai Cholil.


Ia mengetahui langsung segala sepak terjang Kiai Cholil dari ayahnya, sedangnya ayahnya (KH Kholili) menimba informasi langsung dari Kiai Muntaha. Kepada sang menantu inilah Kiai Cholil acap menyerahkan tanggung-jawab dan otoritas dakwah. Salah satunya, tatkala Hasyim Asy’ari pada tahun 1925 bersama 28 kiai dari Tanah Jawa datang ke Bangkalan untuk meminta restu bagi pendirian Nahdlatul Ulama, Kiai Cholil tak bisa menemui mereka. Lalu, Kiai Muntaha disuruh menyambut.


Sebelumnya, pada tahun 1924, Kiai Cholil telah mengutus santri seniornya, As’ad Syamsul Arifin (waktu berusia 27 tahun), untuk pergi ke Tebu Ireng membawa pesan bagi Kiai Hasyim. Tak tanggung-tanggung, sampai dua kali pesan itu dikirimkan. Pesan pertama berupa tongkat dengan kutipan ayat al-Qur’an (Surat Thaha, ayat 17-23). Surat itu bercerita tentang Nabi Musa dianugerahi Allah tongkat mukjizat untuk melawan tirani Fir’aun. Kiai Hasyim bergetar jiwanya, ketika dibacakan ayat itu, sambil menyaksikan santri Kiai Cholil yang datang dengan kelelahan, karena konon harus menempuh perjalanan Bangkalan-Jombang dengan jalan kaki. Pada kali kedua, santri As’ad diminta mengenakan tasbih besar di lehernya, sambil membaca wirid: “Ya Jabbar, ya Qohhar” sebanyak tiga kali, agar di sampaikan kepada Kiai Hasyim.


Karena penasaran dengan pesan tersembunyi dari Kiai Cholil, maka Kiai Hasyim dan kawan-kawannya mendatangi langsung kediaman murid Kiai Nawawi Banten itu di Bangkalan. Ternyata yang harus menemui mereka adalah Kiai Muntaha, kakek dari Kiai Toha. Setelah yakin mendapat restu dari tokoh yang paling disegani, maka Kiai Hasyim Asy’ari bersama tokoh lain mendeklarasikan berdirinya NU di Surabaya, tanggal 31 Desember 1926. “Tapi, Kiai Cholil sebenarnya tidak mendorong terjadinya pengelompokan di tubuh umat, apalagi ta’ashub pada organisasi. Karena saat itu sudah berdiri organisasi Muhammadiyah,” tutur Kiai Toha.

Penilaian itu punya bukti kuat karena Kiai Cholil juga sering berkomunikasi dengan KH Ahmad Dahlan, yang dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah (1912). Bukan hanya itu, Kiai Cholil yang nyentrik cara pengajarannya itu ternyata berhubungan rutin dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang tercatat sebagai pemuka Syarikat Islam. Betapa luasnya pengaruh Kiai Cholil bisa terlihat dari daftar santrinya yang tersebar di berbagai daerah dengan model pesantren beragam.


Karena itu, Kiai Toha prihatin sekali dengan sikap sebagian warga Nahdliyin yang agak tertutup, terutama di tingkat akar rumput. “Mereka sangat loyal terhadap kiainya, bisa dikatakan ada gejala ta’ashub, bila tidak diluruskan. Sehingga begitu ada kelompok, paham, aliran, organisasi, atau partai baru, jika tidak disetujui para kiainya, maka mereka khawatir sekali dengan sesuatu yang baru tersebut,” Kiai Toha mencontohkan. Padahal, sikap dan pemikiran Kiai Cholil sangat terbuka. Kecuali belajar nahwu-sharaf dari Kiai Nawawi Bantani, Kiai Cholil juga tercatat sebagai murid Syekh Khalid al-Misri (dari Mesir), Ali as-Syami (Suriah), dan As-Syinqithi dari India. Ulama terdahulu sudah go global tanpa kehilangan jati diri. Yang jelas, tak ada ulama yang menghalalkan fanatisme kelompok.


Kiai Toha berharap terjadi perubahan sosial signifikan di kawasan Tapal Kuda, bagian dari Provinsi Jawa Timur yang sangat dipengaruhi budaya Madura. Namun, gonjang-ganjing politik seringkali membuat peluang perubahan itu jadi naik-turun, seperti penundaan hasil pemilihan gubernur Jatim saat ini. Mahkamah Konstitusi memutuskan harus dilakukan pemungutan suara ulang di dua kabupaten (Bangkalan dan Sampang) serta penghitungan suara ulang di Pamekasan. Semua pihak menghormati putusan itu, tapi ongkos politik yang harus dikeluarkan negara menjadi sangat besar dan kemungkinan terjadinya gesekan di lapis bawah mulai terasa.

Untuk itu, Kiai Toha tak lelah menyemai dakwah yang merangkul semua kelompok. Dengan tekad tulus ia menyatakan bergabung dalam barisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Segelintir orang menyebut partai anak muda itu merupakan gerakan radikal yang membawa paham Wahabisme. “Saya tidak melihat fenomena itu. Saya kenal kader dan pengurus PKS sangat peduli dengan nasib tenaga kerja di Tanah Suci. Dari situ saya tertarik untuk berkiprah bersama partai dakwah ini,” ucap Kiai Toha, yang sempat berguru kepada Syekh Jabir Jibran asal Mekkah dan Syekh Abdul Karim al-Banjari dari Banjarmasin, saat nyantri di Mekah.


Sikap Kiai Toha mendapat dukungan dari seorang tokoh terkemuka di Pamekasan, KH. Zain Abdulrachman, pendiri Yayasan Darissalam yang tercatat sebagai alumni Pesantren Sidogiri. “Kiai Zain berpesan agar saya berdoa di dekat Multazam untuk perkembangan dakwah demi kebaikan umat dan bangsa,” jelas Kiai Toha, yang ditemui Majalah Profetik di bandara, saat hendak pergi haji.


Dukungan serupa juga diberikan Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron, yang masih tergolong pamannya sendiri. Ketika silaturahim keluarga besar Bani Cholil, sang bupati menghampirinya karena memakai baju koko berlogo bulan sabit kembar mengapit padi emas. “Lho, sampeyan masuk PKS toh. Baguslah, saya dukung!” kata Bupati Fuad dengan spontan. Spirit dakwah baru kini mewarnai pewaris Bani Cholil. Semoga membawa kesejahteraan bagi warga Pulau Garam dan kebangkitan umat di negeri ini.


[Penulis: Saad Saefullah. Dimuat di Majalah Profetik, Edisi II, Desember 2008]

Guru Spiritual Pendiri Bangsa

Tak ada seorang pun penduduk Bangkalan dan Madura yang tak kenal keturunan Bani Cholil. Mereka mewarisi tradisi intelektual panjang, diawali dengan pendirian pondok pesantren di daerah Jangkibuan dan Demangan. Karena perkembangan yang sangat pesat, sejumlah pesantren yang dikelola anak-cucu Kiai Cholil lalu diberi label Al-Kholili di belakangnya, seperti Pesantren Al-Muntaha al-Kholiliyah, Pesantren Nurul Kholil, Pesantren Sirojul Kholil, Pesantren An-Nashiriyah Al-Kholiliyah, dan banyak lagi.


Walau Kiai Cholil dikenal sebagai sesepuh organisasi NU, namun sesungguhnya ia menjadi guru dan teman diskusi bagi para tokoh nasional, termasuk KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (SI), dan A. Hassan (Persis). Bahkan, Soekarno pernah diajak Tjokroaminoto untuk bertemu dan berdiskusi dengan Kiai Cholil beberapa kali. Berikut daftar murid Syaikhona Cholil yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh umat:


1. KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama.

2. KHR. As’ad Syamsul Arifin, Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo.

3. KH. Wahab Hasbullah, Pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947-1971).

4. KH. Bisri Syamsuri, Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.

5. KH. Maksum, Pendiri Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah.

6. KH. Bisri Mustofa, Pendiri Pondok Pesantren Rembang dan ahli tafsir pengarang kitab Al-Ibriz (3 jilid).

7. KH. Muhammad Siddiq, Pendiri Pesantren Siddiqiyah, Jember.

8. KH. Muhammad Hasan Genggong, Pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong.

9. KH. Zaini Mun’im, Pendiri Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

10. KH. Abdullah Mubarok, Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Jawa Barat.

11. KH. Asy’ari, Pendiri Pesantren Darut Tholabah, Wonosari, Bondowoso.

12. KH. Abi Sujak, Pendiri Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.

13. KH. Ali Wafa, Pendiri Pondok Pesantren Temporejo, Jember.

14. KH. Toha, Pendiri Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.

15. KH. Mustofa, Pendiri, Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan.

16. KH Usmuni, Pendiri Pondok Pesantren Pandean Sumenep.

17. KH. Karimullah,Pendiri Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.

18. KH. Manaf Abdul Karim, Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

19. KH. Munawwir , Pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

20. KH. Khozin, Pendiri Pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.

21. KH. Nawawi, Pendiri Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.

22. KH. Abdul Hadi, Lamongan.

23. KH. Zainudin, Nganjuk.

24. KH. Maksum, Lasem.

25. KH. Abdul Fatah, Pendiri Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung.

26. KH. Zainul Abidin, Kraksan, Probolinggo.

27. KH. Munajad, Kertosono.

28. KH. Romli Tamim, Rejoso, Jombang.

29. KH. Muhammad Anwar, Pacul Bawang, Jombang.

30. KH. Abdul Madjid, Bata-bata, Pamekasan.

31. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, Banyuwangi.

32. KH. Muhammad Thohir Jamaluddin, Sumber Gayam, Madura.

33. KH. Zainur Rasyid, Kironggo, Bondowoso.

34. KH. Hasan Mustofa, Garut, Jawa Barat.

35. KH. Raden Fakih, Maskumambang, Gresik.

36. KH. Sayyid Ali Bafaqih, Pendiri Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali


[Penulis Saad Saefullah. Dimuat Majalah Profetik, Edisi 2/Desember 2008]

Salam Kenal

Hello,
Assalamu'alaikum,

Saya Sapto, seorang jurnalis. Saat ini bekerja di majalah berita ekonomi-politik "Profetik" sebagai Redaktur Senior, dan juga Pemimpin Redaksi di Jurnal Ilmiah "Policy Review" terbitan Center for Indonesian reform (CIR). Saya menaruh perhatian besar terhadap perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya, terutama menyangkut peningkatan kualitas demokrasi dan kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan rakyat.

Saat ini saya melakukan riset dan mengembangkan kegiatan pemberdayaan di masyarakat akar rumput (community development) di Pulau Madura. Selama ini kita mengenal Madura hanya sebagai pulau penghasil garam yang berada dalam kondisi daerah terbelakang. Padahal, Ikatan Ahli Geologi asal Madura menginformasikan bahwa wilayah ini memiliki 104 blok migas, namun baru 14 blok yang bisa dieksploitasi. Salah satu potensi yang sudah tergali di Pulau Pagerungan Besar yang masuk Blok Kangean, tercatat produksinya 11,74 juta barel minyak dan 947 miliar kubik kondensat. Potensi yang terpendam masih lebih banyak lagi. Penduduk Pulau Madura tercatat sekitar 4 juta orang, tapi warga Madura yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara mencapai lebih 17,5 juta.

Orang sering salah memandang warga Madura berwatak keras dan kasar. Padahal, jika dicermati itu buk
ti karakter yang tegas dan penuh pendirian. Oreng Madhure adalah para pekerja keras yang sanggup menerabas hutan dan menyeberangi lautan untuk merintis hidup yang lebih baik. Hal ini harus dipandang sebagai kontribusi yang besar untuk membangun bangsa. Kebudayaan Madura juga sangat kaya dan kental dengan nilai relijius. Itu bukan berarti kita bersifat jumud, karena kita memegang kaidah agama: “Al muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik). Dengan spiritualitas dan moralitas yang tinggi warga Madura ikut serta memajukan identitas nasional Indonesia yang lebih bermartabat di hadapan bangsa lain di dunia.

Salam hangat!