Rabu, 27 Mei 2009

Propaganda Anti-“Islam Garis Keras” (Kritik untuk Buku “Ilusi Negara Islam”)

Catatan: Artikel ini telah dimuat di Warta LKBN Antara, sebuah situs berlangganan, sehingga tak dapat dibagi URL-nya di sini.

Oleh: Sapto Waluyo
(Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform)

Seorang tokoh kharismatik dari pelosok desa Buduran, Bangkalan, K.H. Amjad al-Munawwir, berkunjung ke rumah dinas Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW), suatu malam. Tidak tanggung-tangung, pimpinan pesantren Al-Muhajirin itu membawa serta isteri, anak dan keluarga besarnya yang tinggal di Jakarta. Mereka mengendarai tiga mobil berisi penuh penumpang dari kawasan Tanjung Priok menuju kompleks Widya Chandra hanya dengan satu tujuan untuk menanyakan langsung: apa benar mantan Presiden PKS itu menganut paham Wahabiyah?

Hidayat menjawab dengan tenang seperti pertanyaan serupa yang diterimanya lewat SMS, email atau posting Facebook, bahwa kaum Wahabi mengharamkan partai politik. Sedangkan, ia pernah menjadi pendiri dan ketua partai. Jadi, nggak nyambung lah nyaw, kata anak muda zaman sekarang. Kiai Amjad yang menjadi tempat bertanya Abdurrahman Wahid di masa sulit itu terpesona mendengar penjelasan Hidayat soal peringatan Maulid Nabi Saw di kantor DPP PKS (11/3/2009). Pada acara tersebut turut hadir K.H. Zainuddin MZ dan Habib Mundzir al-Musawwa. Bahkan, saat terkena musibah meninggalnya isteri tercinta, Hidayat mendapat kunjungan dari berbagai tokoh ormas, termasuk dari Nahdlatul Ulama (KH Nur Iskandar SQ), untuk membacakan doa dan tahlil dalam rangka takziyah.

“Pak Hidayat, saya percaya semua yang dikatakan itu benar. Tidak seperti isu yang beredar selama ini. Karena itu, saya dukung 100% apabila pak Hidayat nanti menjadi pemimpin di Indonesia,” ujar Kiai Amjad spontan. Sebagai penguat dukungannya, kiai nyentrik asal Madura itu membacakan doa yang diamini belasan tamu. Kehadiran kiai kampung yang amat berpengaruh itu seakan mewakili ratusan kiai dan tokoh Madura dan Jawa Timur yang beraspirasi sama. Sebelumnya, pada akhir masa kampanye pemilu (5/4/2009), Hidayat diundang khusus silaturahim akbar di Ponpes Al-Muhajirin, Bangkalan yang diikuti 2000 santri dan warga setempat. Tidak tanggung-tanggung, lima orang kiai dari Bangkalan, Sampang dan Pamekasan membacakan doa secara berturut-turut untuk keselamatan umat, kemajuan bangsa dan hadirnya kepemimpinan nasional baru yang berintegritas. Banyak saksi mata di daerah lain dengan beragam latar-belakang membuktikan akseptabilitas yang tinggi dari tokoh partai yang lahir di era reformasi (PKS).

Tak aneh, bila berbagai lembaga survei (LP3ES, Puskaptis UI, dan LRI) menampilkan kans calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan semakin besar bila berpasangan dengan Hidayat, jauh meninggalkan posisi cawapres lain. Jika SBY akhirnya lebih memilih Boediono sebagai pendampingnya, maka itu benar-benar kalkulasi politis, bukan berdasarkan aspirasi rakyat yang tercermin dalam survei atau sikap spontanitas semisal Kiai Amjad.

Delusi Kaum Moderat

Karena itu, sungguh mengejutkan simpulan riset yang baru-baru ini dipublikasikan dalam buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” (2009). Secara ringkas, buku itu berkesimpulan PKS adalah salah satu “kaki tangan gerakan Islam transnasional” yang menjadi ancaman bagi kelestarian Dasar Negara Pancasila dan keutuhan Negara Kesatuan RI. Buku ini penting karena merupakan hasil riset selama dua tahun di 24 kota di Indonesia. Editornya adalah KH Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI dan Ketua Umum PBNU), dengan prolog Prof. A. Syafii Ma’arif (mantan Ketua PP Muhammadiyah) dan epilog KH Mustofa Bisri (pimpinan ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang). Penerbitnya, kolaborasi The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika dan Maarif Institute yang disponsori LibforAll Foundation (organisasi nirlaba bentukan warga Amerika Serikat, C. Holland Taylor).

Sayang sekali, sebuah riset serius yang tentu berbiaya mahal ternyata tak bisa menangkap fenomena sosial kontemporer secara jernih. Hasilnya, semacam propaganda untuk memvonis kelompok masyarakat yang berbeda pandangan. Simpulan dan rekomendasi buku ini tampaknya ikut mewarnai tarik-menarik kekuatan selama kampanye pemilu, bahkan turut mempengaruhi mulus-tidaknya nominasi kandidat capres/cawapres. Seperti diketahui, nama HNW sempat menguat sebagai pendamping SBY. Namun, Tim 9 dari Partai Demokrat ragu karena banyaknya masukan negatif soal HNW dan PKS yang diisukan Wahabi. Bahkan, organisasi Ittihadul Muballighin terang-terangan menolak cawapres dari kalangan Wahabi, walau tidak menyebut nama secara terbuka. Apakah SBY benar mengadopsi rekomendasi buku ini, tatkala menentukan cawapresnya?

Harap dicatat, substansi buku ini sebenarnya telah dilansir dalam jumpa pers di awal April 2009, sebelum hari pemilu. Bab pengantar, prolog dan epilognya telah beredar luas dalam edisi bahasa Inggris di media internet. Kalangan masyarakat terdidik dan pemilih yang kritis (critical mass) telah mengkonsumsinya jauh sebelum hari pencontrengan. Usai pemilu, buku ini diluncurkan resmi dan disebarkan ke empat Negara (Arab Saudi, Turki, Inggris dan Amerika Serikat). Sebuah target propaganda yang benar-benar ambisius.

Kelemahan mendasar dari buku ini, gagal mendefinisikan “Gerakan Islam Transnasional” dan mengapa sejumlah organisasi yang berbeda social origin-nya bisa dikategorikan “kaki tangan”-nya di Indonesia? Dengan semangat gebyah-uyah, penulis dan periset buku menyamakan kategori sosial: paham keagamaan (Wahabisme), gerakan pembaharuan (Ikhwanul Muslimin), organisasi massa (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia) dan partai politik (PKS dan PBB). Bahkan, lebih dahsyat lagi semua gejala sosial itu disatukotakkan dengan gerakan bawah tanah hasil rekayasa intelijen, Jemaah Islamiyah (JI). Mereka semua dijadikan satu kategori “Islam garis keras” (hardliners), yang menganut absolutisme pemahaman agama dan membenarkan penggunaan cara kekerasan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan.

Definisi operasional dan metodologi yang kabur itu menunjukkan bahwa penulis/periset tidak bisa membedakan (different), sebagai misal perbandingan: sapi dengan kerbau, meski masih satu keluarga (mamalia) dalam dunia fauna. Apalagi memisahkan (disparate) sapi dengan ular atau buaya yang berbeda famili (reptilia buas). Tiap kelompok sosial (komunitas relijius, organisasi sosial, asosiasi profesi, atau partai politik) memiliki karakter masing-masing, tak bisa disamakan begitu saja, kecuali dapat dibuktikan memiliki ikatan ideologis dan struktural-organisasional. Siapa yang bisa membuktikan bahwa gerakan Ikhwan memiliki cabang di Indonesia? Mungkin Imam Besar Ikhwanul Muslimin Indonesia, Habib Husein al-Habsyi yang bisa menjawabnya. Yang sudah pasti, DDII, FPI, dan MMI tidak menjadi onderbouw organisasi manapun. Mungkin hanya HTI yang secara terang menyebut afiliasi dengan organisasi sejenis di tingkat dunia. Sudah pasti pula, semua organisasi yang disebut tadi sama sekali tak ada kaitannya dengan JI yang dikategorikan organisasi teroris lintas Negara.

Simpulan sembrono itu ternyata berasal dari pernyataan mantan wartawan Far Eastern Economic Review yang mengaku-aku sebagai pengamat gerakan Islam, Sadanand Dhume. “Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dengan JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin… Bedanya, JI bersifat revolusioner, sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah, dan suara demi suara… Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan masa depannya akan sama dengan Negara-negara Asia Tenggara lainnya, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan jubah fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan mempengaruhi masa depan Indonesia.” (2009: 27, sebagaimana dikutip dari FEER, Mei 2007).

Ini sebuah tuduhan serius, dan bisa berefek pembubaran organisasi, apabila pendapat Dhume dibuktikan benar. Jika asal bicara, maka Dhume perlu diperiksa, karena sering bolak-balik berkunjung ke Indonesia. Apakah penulis/periset buku memiliki pandangan yang sama dengan Dhume? Sungguh menyedihkan, sebuah partai peserta pemilu (PKS) yang menempati ranking keempat dalam percaturan politik nasional 2009 dan memiliki 8,2 juta pengikut masih disalahpahami sebagai metamorfosis organisasi teroris. Apa yang salah dengan interaksi sosial di antara komponen bangsa ini, sehingga organisasi keagamaan yang sudah lama eksis (NU dan Muhammadiyah) merasa terancam dengan kehadiran entitas politik baru (PKS)?

Dalam buku itu tertangkap nuansa delusi (khayalan tentang kebanggaan yang terancam), seperti pengaruh organisasi sebesar NU yang mulai tergeser oleh pendatang baru. Publik melihat posisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam pemilu 2009 merosot ke peringkat ketujuh dengan raihan suara 5.146.122 pemilih (4,94%). PKB selama ini dipercaya sebagai salah satu representasi politik warga NU, sementara partai lainnya tidak lolos parliamentary threshold. ‘Pergeseran’ politis itu akhirnya dipersepsikan sebagai ancaman terhadap eksistensi organisasi atau bangsa, seperti tersurat: “Meski ancaman garis keras itu semula tertuju kepada paham dan eksistensi NU, namun NU menganggap itu merupakan ancaman terhadap bangsa dan Negara. Sebab tradisi keberagamaan NU merupakan amal keagamaan yang dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam Indonesia, sehingga secara ringkas bisa dikatakan bahwa warga NU dan bangsa Indonesia merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.” (2009: 197).

Padahal, jika kita perhatikan dengan lebih teliti Keputusan Majelis Bahtsul Masa’il NU tentang khilafah dan formalisasi syariah (November 2007), memang dinyatakan “tidak ada dalil nash” untuk keharusan pembakuan khilafah dalam sistem ketatanegaraan Islam, “karena keberadaan sistem khilafah adalah bentuk ijtihadiyah”. Jelas sekali, NU tidak menafikan atau mengharamkan sistem khilafah, tetapi memandangnya sebagai domain akal manusia (ijtihad), bukan doktrin teologis. Dalam majelis yang sama diputuskan, bahwa hukum mengubah bentuk Negara Indonesia dengan bentuk yang lain, maka “hukumnya tidak boleh selama menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar”. Sedangkan mengubah dasar hukum Negara juga “tidak diperbolehkan jika menggunakan cara yang inkonstitusional, dan DIPERBOLEHKAN jika menggunakan cara yang konstitusional”. Sekali lagi jelas, NU tidak mengharamkan perubahan/amandemen UUD, asal demi kemaslahatan dan ditempuh prosedur konstitusional. Termasuk dalam soal penerapan syariah Islam di Indonesia, NU menyetujui strategi tadrij (gradual) dan metoda substantif, berbeda misalnya dengan HTI yang menempuh cara frontal-revolusioner.

Dalam konteks ini, penulis/periset mengabaikan suatu hal fundamental, PKS tidak pernah menyebut sistem khilafah dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga atau Falsafah Dasar/Platform Kebijakannya sebagaimana dituduhkan Sadanand Dhume. Yang dicitakan PKS adalah “Terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhail Allah Swt dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” (AD PKS, Pasal 5 ayat 2). Soal penerapan syariah Islam di Indonesia diterangkan PKS dalam platform kebijakan bidang hukum dan HAM, karena ada tuntutan publik untuk melakukan revisi KUHP warisan kolonial Belanda yang telah ketinggalan zaman. Menurut Azyumardi Azra, PKS telah melakukan inisiatif penting dengan obyektifikasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan Indonesia modern dan merumuskan cita-citanya sebagai “religious-based civil society”. Tak ada radikalisasi atau hipokrisi (hidden agenda) dalam hal itu, karena semua partai yang berbasiskan nilai agama atau sekulerisme harus berhadapan dengan realitas sosialnya masing-masing. Dengan segala fakta itu. Apakah tepat menyebut PKS sebagai ancaman nasional? Tim periset harus berhati-hati, apalagi jika merasa mewakili pandangan resmi organisasi NU, karena dapat mengecilkan posisi NU sendiri yang terkesan tidak bisa menerima dinamika politik nasional.

Demikian pula simpulan tentang pengaruh PKS terhadap warga Muhammdiyah bisa menyebabkan “…bangsa Indonesia tidak hanya kehilangan salah satu aset kultural ormas moderatnya dan mungkin Muhammadiyah akan menjadi salah satu bungker baru gerakan garis keras di Indonesia, bangsa Indonesia juga akan kehilangan salah satu soko guru Pancasila, UUD 1945, dan NKRI” (2009: 189), sangat mengada-ada. Dalam tubuh Muhammadiyah, kita tahu ada partai lain yang lebih berpengaruh yaitu Partai Amanat Nasional yang didirikan Amien Rais (mantan Ketua PP Muhammadiyah). Tapi, sayang PAN dinilai tak mengakomodasi aspirasi politik warga Muhammadiyah, sehingga muncul partai baru, Partai Matahari Bangsa (PMB) yang mengajukan Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah saat ini) sebagai calon presiden. Dalam hal ini, pengaruh PKS tidak lebih besar dibanding PAN dan PMB yang bersaing untuk memperebutkan suara warga Muhammadiyah. Hasil survei LSI pasca pemilu 2009 juga membuktikan gejala itu.

Dalam Surat Keputusan PP Muhammadiyah tertanggal 1 Desember 2006 dinyatakan, “Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa SELURUH partai politik di negeri ini, termasuk partai politik yang mengklaim atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah SEPERTI Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Muhammadiyah…” (2009: 241). Jadi, yang harus dikritisi warga Muhammadiyah adalah seluruh partai dan PKS hanya salah satu contohnya. Mengapa PAN tidak disebut dalam SK itu, dan juga PMB yang baru lahir pada 8 Januari 2006? Di sini ada masalah kalkulasi politik untuk mendiskreditkan pihak tertentu saja.

Perlu Dialog Nasional

Inilah pelajaran berharga bagi elite PKS yang selama ini suntuk dengan politik praktis dan ternyata belum berhasil membangun basis sosial yang kokoh. Setelah tiga kali berpartisipasi dalam pemilu, kemudian menerbitkan dokumen resmi Falsafah Dasar Perjuangan (2007) dan Platform Kebijakan Pembangunan (2008), ternyata bukan simpati yang berhasil dipanen, tapi antipati sebagian kalangan. Dengan sikap dan perilaku elite PKS yang tak terkontrol mungkin kesalahpahaman akan bertambah luas, bahkan tidak mustahil berkembang jadi fobia. Kita perlu mencegah hal ini agar kancah politik nasional tidak mengalami setback ke masa pertikaian ideologis.

Dengan segala kelemahan fatalnya, buku itu tak perlu diberangus. Biarlah masyarakat yang akan menilainya. Sebuah forum terbuka (Dialog Nasional) perlu digelar untuk menghadirkan semua pihak yang disebut penulis sebagai kelompok garis keras dan moderat. Salah satu topik yang perlu dikaji: apakah Islam itu “agama lokal” dan karenanya hanya “gerakan Islam lokal” yang berhak hidup di Indonesia? Apakah “Gerakan Islam Transnasional” itu benar-benar ancaman bagi eksistensi bangsa Indonesia? Apakah aqidah “Ahlus Sunnah wal Jamaah” itu produk asli Indonesia atau ditransmisi dari wilayah/sejarah lain?

Pertanyaan serumit itu tak diambil pusing Kiai Amjad yang polos. Suatu hari salah seorang muridnya bercerita tentang Syeikh Ahmad Khatib (1803-1872), seorang ulama asal daerah Sambas yang menjadi Imam di Masjidil Haram Mekah dan memimpin perkumpulan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Indonesia. Ahmad Khatib adalah guru dari KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asyari (pendiri NU). Saat itu, semangat mencari ilmu telah mempersatukan para perintis dakwah. Khatib sendiri berguru kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani (asal Thailand selatan), Syeikh Abdus Shomad al-Palimbani (asli Palembang) dan Syeikh Abdul Hafidz al-Ajami serta Ahmad al-Marzuqi al-Makki al-Maliki dari Timur Tengah. Seorang guru yang berwatak transnasional. Hal itu tampak pula pada sosok kiai kampung seperti Kiai Amjad, yang terbukti tak alergi dengan perbedaan pandangan. Ia bisa bersahabat dengan siapa saja yang memiliki tujuan sama untuk mensejahterakan umat dan bangsa.***

Rabu, 29 April 2009

Mengapa Takut pada PKS ?

Oleh: Sapto Waluyo (Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform)

http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/mengapa-takut-pada-pks.htm
Rabu, 29/04/2009 14:08 WIB

Wanandi: “The possibility that SBY will join with PKS makes us nervous. There is a lot of uncertainity around this. We don’t know if we can believe them.”

Sebuah acara talk show di stasiun televisi berlangsung seru pasca Pemilu yang baru berlalu di Indonesia. Para pembicara berasal dari partai-partai besar peraih suara terbanyak: Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat yang tampil sebagai pemenang pemilu, Sumarsono (Sekretaris Jenderal Partai Golongan Karya yang sempat shock karena tergeser ke ranking kedua), dan Tjahjo Kumolo (Ketua Fraksi PDI Perjuangan yang menempuh jalan oposisi). Narasumber keempat adalah seorang anak muda, doktor bidang teknik industry lulusan Graduate School of Knowledge Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST), Mohammad Sohibul Iman, dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Usai debat panas, Kumolo mendekati Iman dan berbisik: “Mas, bagaimana sikap teman-teman PKS terhadap PDIP? Posisi Hidayat Nur Wahid cukup berpengaruh di kalangan PDIP, dia menempati ranking kedua untuk mendampingi Ibu Mega.” Perbincangan intim itu tak pernah dilansir media manapun, meski publik mencatat Hidayat pernah diundang khusus dalam acara rapat kerja yang dihadiri pengurus dan kader PDIP se-Indonesia. Dua pekan setelah Pemilu, DPD PDIP Sulawesi Utara, yang berpenduduk mayoritas non-Muslim masih mengusulkan lima calon wakil presiden yang layak mendampingi Mega, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono, Prabowo Subianto, Akbar Tanjung, Hidayat Nur Wahid dan Surya Paloh (Republika, 21/4). Itu bukti kedekatan partai nasionalis sekuler dengan Islam, lalu mengapa selepas pemilu yang aman dan lancar, tersebar rumor sistematik bahwa partai Islam radikal (PKS) menjadi ancaman keutuhan nasional Indonesia?

Partai Demokrat dan PKS sekali lagi membuat kejutan. Dalam Pemilu 2004, partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina itu, hanya menempati urutan kelima dengan perolehan suara 7,5%. Sekarang mereka menempati tempat teratas dengan raihan suara lebih dari 20,6% menurut perhitungan suara sementara. Sementara PKS yang menempati ranking keenam pada Pemilu 2004 dengan suara 7,3% memang tak bertambah secara drastis, diperkirakan hanya meraih 8,2% suara, menurut tabulasi sementara Komisi Pemilihan Umum. Tapi, PKS dengan posisi keempat dalam pentas nasional menjadi Partai Islam terbesar di Indonesia. Inilah yang menjadi sumber kontroversi bagi sebagian pengamat Barat.

Bila kemenangan Partai Demokrat disambut meriah oleh media Barat, sehingga majalah Time berencana untuk memasukkan sosok SBY sebagai satu di antara 100 tokoh berpengaruh di dunia, maka kemunculan PKS dinilai negatif oleh penulis semisal Sadanand Dhume. Dalam Wall Street Journal Asia (15/4), Dhume menyatakan: “The most dramatic example of political Islam’s diminished appeal is the tepid performance of the Prosperous Justice Party (PKS), Indonesia’s version of the Muslim Brotherhood. PKS seeks to order society and the state according to the medieval precepts enshrined in shariah law.” Pandangan serupa diungkapkan Sara Webb dan Sunanda Creagh yang mengutip kekhawatiran pengusaha keturunan Cina, Sofjan Wanandi dan pengamat beraliran Muslim liberal, Muhammad Guntur Romli (Reuters, 26/4).

Wanandi, pengusaha sekaligus pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), berkata terus terang: “The possibility that SBY will join with PKS makes us nervous. There is a lot of uncertainity around this. We don’t know if we can believe them.” Sedangkan, Romli menegaskan: “PKS have a conservative ideology but are portraying themselves as open and moderate because they are also pragmatic.” Kesangsian Wanandi dan Romli justru menimbulkan pertanyaan, karena mereka mungkin sudah membaca Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan yang dikeluarkan PKS setahun sebelum penyelenggaraan pemilu. Buku setebal 650 halaman itu menjelaskan segala langkah yang sudah, sedang dan akan dilakukan PKS untuk mewujudkan masyarakat madani yang maju dan sejahtera di Indonesia. Tak ada sedikitpun disebut ide Negara teokratis atau diskriminasi terhadap kaum minoritas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyediakan waktu khusus untuk menyimak platform PKS setebal 4,5 centimeter itu dan berkomentar, “Isinya cukup komprehensif seperti Garis-garis Besar Haluan Negara atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang disusun pemerintah meliputi seluruh aspek kehidupan Negara modern.” Prof. Jimly Ashiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menilai inisiatif PKS merupakan tradisi baru dalam dunia politik agar setiap partai menjelaskan agendanya ke hadapan publik secara transparan dan bertanggung-jawab. Sementara Prof. Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri, memberikan apresiasi khusus karena PKS berani melakukan obyektivikasi terhadap nilai-nilai Islam dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Siapa yang harus kita percaya saat ini, pengusaha dan pengamat yang gelisah karena kepentingan pribadinya mungkin terhambat atau menteri dan pakar yang menginginkan perbaikan dalam kualitas pemerintahan di masa datang?

Kehadiran partai Islam memang kerap memancing perhatian, tak hanya di Indonesia. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki yang secara harfiyah menyebut diri berideologi sekuler ternyata masih dicap sebagai kelanjutan dari partai fundamentalis Islam. Gerakan Hamas yang secara patriotik membuktikan diri berjuang sepenuhnya untuk kemerdekaaan nasional Palestina disalahpersepsikan sebagai ancaman perdamaian dunia. Perhatian publik semakin kritis setelah partai Islam berhasil memenangkan pemilu yang demokratis, dan berpeluang menjalankan pemerintahan. Stereotipe buruk kemudian disebarkan untuk menggambarkan partai Islam seperti virus flu yang berbahaya, dengan merujuk pengalaman di Aljazair, Sudan atau Pakistan.

Tapi, semua insinuasi itu tak berlaku di Indonesia karena partai Islam dan organisasi sosial-politik Islam yang lebih luas telah berurat-akar dalam sejarah dan memberi kontribusi kongkrit dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hanya orang bodoh yang tak tahu bahwa: organisasi modern yang pertama lahir di Indonesia adalah Serikat Dagang Islam (1905), partai politik yang pertama berdiri dan bersikap nonkooperasi terhadap penjajah Belanda adalah Syarikat Islam (1911), organisasi pemuda yang mendorong pertemuan lintas etnik dan daerah ialah Jong Islamienten Bond hingga terselenggaranya Sumpah Pemuda (1928), mayoritas perumus konstitusi dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (1945) adalah tokoh Islam, dan penyelamat Negara kesatuan Indonesia dari ancaman komunisme (1966) adalah organisasi pemuda dan mahasiswa Muslim nasionalis. Kekuatan Islam juga sangat berperan dalam mengusung gerakan reformasi di tahun 1998, tanpa meremehkan peran kelompok agama/ideologi lain.

Tak ada yang perlu ditakuti dari kiprah Partai Islam di masa lalu dan masa akan datang, termasuk dalam membentuk pemerintahan baru di Indonesia. Partai Islam memiliki agenda yang jelas untuk memberantas korupsi melalui reformasi birokrasi, meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menekan angka kemiskinan dan pengangguran, sehingga semangat “jihad” yang sering disalahtafsirkan itu, dalam konteks Indonesia modern bisa bermakna: perang melawan korupsi, kemiskinan dan pengangguran. Jika ada kelompok yang takut atau memusuhi Partai Islam, maka perlu diselidiki apakah mereka memiliki komitmen yang sama untuk membasmi korupsi, kemiskinan dan pengangguran? Membatasi, apalagi mengisolasi Partai Islam, hanya akan menambah panjang persoalan yang berkecamuk di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia.

Partai Islam tak hanya mampu meraih dukungan yang cukup luas dalam pemilu, bahkan tokoh-tokohnya yang berusia relatif muda mulai mendapat kepercayaan pemilih. Exit poll yang digelar Lembaga Pengkajian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tanggal 9 April menunjukkan bahwa pasangan Yudhoyono-Hidayat meraih suara 20,8 persen, mengungguli Yudhoyono-Jusuf Kalla yang meraih 16,3 persen, dan Yudhoyono-Akbar Tandjung yang hanya memperoleh 5,4 persen dukungan responden. Jika fakta elektabilitas yang tinggi ini masih diingkari, maka kecurigaan terhadap Partai Islam sungguh tak berdasar dan melawan kehendak rakyat yang menjadi inti demokrasi.

*) Center for Indonesian Reform (CIR), Gedung PP Plaza Lantai 3, Jalan TB Simatupang No. 57, Jakarta Timur Email: sapto.waluyo@gmail.com

Rabu, 01 April 2009

Fitnah PKS Bawa Aliran Wahabisme Telah Pupus

[10/03/09 15:37]
http://www.antara.co.id/arc/2009/3/10/fitnah-pks-bawa-aliran-wahabisme-telah-pupus/

Bogor (ANTARA News) - Fitnah yang selama ini terjadi, seperti tuduhan bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membawa aliran Wahabisme, dan anggapan tentang musuh bersama (common enemy) kaum tradisional dan budaya lokal, kini sudah tidak ada lagi, dengan telah tembusnya sekat-sekat yang selama ini ada.

Pernyatan itu dikemukakan Calon Anggota DPR RI dari PKS untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur 11 Drs Sapto Waluyo, MSc ketika
menghubungi ANTARA di Bogor, Selasa.

Sapto Waluyo berada di Kabupaten Bangkalan Madura, Jawa Timur pada acara "Dialog Ulama, Umara dan Umat: Mencari Model Kepemimpinan yang Melayani", dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Pendopo Kabupaten Bangkalan, yang dihadiri Bupati Bangkalan RKH Fuad Amin Imron.

Meski tuduhan dimaksud mulai pupus, menurut anggota Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS itu, partainya tidak berkembang dengan memanfaatkan kondisi negatif, seperti terjadinya perpecahan di partai politik lain.

"Kami tidak ingin mengail di air keruh. PKS ingin bekerjasama dengan semua kelompok masyarakat. Karena itu, PKS merekrut tenaga muda Madura dari beragam latar belakang, termasuk kalangan 'Nahdhiyyin' (sebutan populer untuk warga Nahdlatul Ulama)," kata lulusan jurusan Hubungan Internasional Fisip Universitas Airlangga (Unair).

Sebagai bukti, katanya, dalam daftar calon anggota legislatif PKS terdapat cukup banyak tokoh kiai muda dan aktivis organisasi NU,
Muhammadiyah, Persis dan sebagainya.

Menurut Sapto Waluyo, pada kesempatan itu Bupati Bangkalan RKH Fuad Amin Imron menyatakan bahwa suasana politik di "Pulau Garam" itu tampak semakin bergairah, antara lain ditandai kiprah dakwah PKS yang menembus sekat-sekat tradisional.

"Saya mendukung berkembangnya PKS di Bangkalan, sebagaimana juga partai-partai lain. Sekarang masyarakat sudah semakin cerdas dan terbuka, tak lagi didominasi lagi satu kekuatan sosial-politik saja," kata Kiai Fuad yang masih tercatat sebagai Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Bangkalan dan Ketua Dewan Syuro DPW PKB Jawa
Timur versi Abdurrahman "Gus Dur" Wahid itu.

Dengan nada berkelakar, Fuad melanjutkan, PKB sekarang seperti 'partai konflik berkelanjutan', tetapi memmbawa berkah, 'rahmatan lil alamin', dengan berkembangnya partai-partai lain, terutama PKS yang bergerak gesit.

"Saya kaget, keponakan saya sekarang jadi tokoh PKS," katanya merujuk pada tokoh yang dimaksud adalah KH Thoha Kholili (40 tahun), pengasuh Ponpes Al-Muntaha Al-Kholiliyah, yang juga menjabat Ketua Dewan Syariah Daerah PKS Bangkalan.(*)

PKS: Isu Wahabisme Telah Pupus

Politik [10/03/2009 - 12:33]
http://www.inilah.com/berita/politik/2009/03/10/89457/pks-isu-wahabisme-telah-pupus/


INILAH.COM, Bogor – PKS menyatakan bahwa tudingan bahwa partai itu membawa aliran Wahabisme telah pupus. Partai itu juga menegaskan tidak akan memanfaatkan sejumlah partai politik yang mengalami perpecahan.


Hal itu diungkapkan anggota Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS Sapto Waluyo, saat berada di Bangkalan, Madura, Selasa (10/3) untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, PKS sudah tidak dianggap musuh bersama kaum tradisional dan budaya lokal. Sebab, telah menembusa sekat-sekat yang selama ini ada.


“Karena itu, PKS merekrut tenaga muda Madura dari beragam latar belakang, termasuk kalangan Nahdliyin," katanya.


Selain itu, kata Sapto, dalam daftar calon anggota legislatif PKS, kini terdapat cukup banyak tokoh kiai muda dan aktivis organisasi, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain.


Sapto juga menyebut, PKS tidak akan berusaha memanfaatkan terjadinya perpecahan di tubuh parpol lain. “Kami tidak ingin mengail di air keruh. PKS ingin bekerjasama dengan semua kelompok masyarakat,” tegasnya. [*/nuz]

Rabu, 25 Februari 2009

PKS Dapat Dukungan Kiai Muda NU

Bogor (ANTARA News) - Calon Anggota DPR RI dari PKS untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur 11 Drs Sapto Waluyo, MSc mengemukakan bahwa perluasan basis sosial-tradisional yang menjadi garis kebijakan dalam Falsafah Dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS mulai mendapatkan dukungan kalangan kiai muda dari Nahdlatul Ulama (NU) di Madura.

Dalam kaitan itu, maka tokoh muda NU yang tergabung dalam PKS tak hanya berstatus penggembira, namun menempati posisi strategis dalam daftar calon legislatif (Caleg), seperti di DPRD II di sejumlah Kabupaten di "Pulau Garam" itu, katanya dalam penjelasan melalui surat elektronik kepada ANTARA di Bogor, Rabu.

Sapto Waluyo berada di Sampang, Madura menghadiri acara pelantikan DPC (Dewan Pengurus Cabang) dan DPRa (Dewan Pengurus Ranting) yang dihadiri Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PKS Dr Moh Razikun, Ketua DPD PKS untuk Kabupaten Sampang KH Abdurrahman Shaleh, Lc dan tokoh kiai setempat.

Ia mengatakan, dukungan kaiu muda dari kalangan "nahdliyyin" --sebutan populer untuk warga NU itu-- bahwa PKS hadir untuk kepentingan seluruh umat dan bangsa.

Dikemukakannya bahwa mungkin pada awalnya PKS hanya didukung kalangan muda perkotaan dan terpelajar. "Namun saat ini setelah 10 tahun berkiprah, dukungan meluas hingga pelosok desa dan kota," kata Sapto Waluyo, lulusan jurusan Hubungan Internasional Fisip Universitas Airlangga (Unair), yang masih tercatat sebagai Anggota Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS itu.

Ditegaskannya lagi bahwa tokoh muda NU yang tergabung dalam PKS tak hanya berstatus penggembira, namun menempati posisi strategis dalam daftar Caleg DPRD, misalnya A Robik Jaizi, MSi (Dapil 2 Kedundung-Tamblengan, Sampang) dan Drs. Imam Cahyono (Dapil 5, Omben-Pangarengan, Sampang).

Sedangkan wakil unsur NU di Kabupaten Bangkalan lebih banyak lagi, seperti Drs Ennen Hamzah (Bangkalan-Kamal), Drs Masduki (Galis-Tanah Merah), Nyai Musfiroh (Labang-Kwanyar), H Mahally dan Ali Rachbini (Blega-Modung) yang semuanya memiliki jabatan struktural di MWC (Majelis Wilayah Cabang) NU.

Di antara hadirin juga tampak tokoh kiai setempat, antara lain KH Thoha Kholili (Pengasuh Ponpes Al-Muntaha Al-Kholiliyah, Bangkalan), KH Ainul Faqih (Ponpes Hidayatul Mubtadi`in, Kedundung) dan KH Syaiful Bihar (Ponpes Al-Banna, Sokobanah).

Sejumlah kiai yang telah menyatakan dukungan terbuka kepada PKS, namun belum sempat hadir, katanya, adalah KH Zain Abdurrahman (Pendiri Lembaga Darissalam, Pamekasan), KH Husain Arjas Jamad (Ponpes Raudlatul Amien, Kangean, Sumenep) dan KH Ad-Dailami (Ponpes Abu Hurairah, Sapeken, Sumenep).

"Mereka semua mewakili generasi baru para kiai yang mulai terbuka orientasi politiknya, tak lagi melihat PKS sebagai ancaman tradisi," katanya.

Catat kejutan

Menurut Sapto Waluyo, PKS selama ini dikenal sebagai partai urban dan modernis. Namun, Pemilihan Umum 2009 diyakini akan mencatat kejutan karena wajah "rural" dan tradisional PKS mulai mencuat.

Hal itu terlihat dalam acara pelantikan DPC (Dewan Pengurus Cabang) dan DPRa (Dewan Pengurus Ranting) yang digelar di Sampang, Madura, yang dihadiri 1000 kader dan simpatisan PKS yang menabalkan diri sebagai "Relawan 8 untuk Kebangkitan Madura".

Ketua DPD PKS Kabupaten Sampang KH Abdurrahman Shaleh, Lc menjelaskan, dirinya baru melantik 14 DPC baru di kabupaten Sampang dan 120 DPRa di berbagai kelurahan. Sementara di Bangkalan (18 DPC), Pamekasan (13) dan Sumenep (27).

"Artinya, seluruh kecamatan di Madura telah ada pengurus PKS-nya. Dari 29 kelurahan dan 959 desa di Pulau Garam, sudah terisi 357 DPRa, yakni 36,3 persen. Dalam satu bulan ke depan ditargetkan 90 persen kelurahan/desa telah terbentuk DPRa," kata Abdurrahman, yang juga menjadi guru Pesantren Al-Ittihad al-Islamiyah, Camplong.

Ia mengatakan, permohonan menjadi kader dan pengurus sangat banyak. Selain itu, juga kebutuhan saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) amat mendesak.

Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PKS Moh Razikun menyatakan apresiasi atas kerja keras kader PKS, terbukti banyak pengurus dan simpatisan yang harus menempuh perjalanan 50 kilometer lebih dengan naik motor atau angkutan umum.

"Masa depan PKS sangat ditentukan inisiatif dan kerja keras teman-teman di cabang dan ranting. Anda semua ujung tombak PKS untuk melakukan pelayanan dan pendekatan kepada kelompok tradisional yang menjadi basis baru PKS," katanya.

Karena itu, target perolehan suara 20 persen dalam Pemilu tahun ini menjadi masuk akal berkat dukungan akar rumput, demikian Razikun. (*)

COPYRIGHT © ANTARA

Sabtu, 10 Januari 2009

Profil KH. Toha Kholili

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muntaha al-Kholiliyah, Bangkalan:

PEWARIS DAKWAH SYAIKHONA CHOLIL


"Jejak ulama terdahulu yang patut diteladani. Menjadi santri sejumlah tokoh lintas negara dan menjembatani sekat-sekat yang membelenggu umat."


Warga Pulau Madura sering dipersepsikan negatif berwatak kasar, keras kepala dan tukang tipu. Namun, siapapun akan berubah pikiran, apabila bertemu dan berdialog langsung dengan tokoh muda yang satu ini. Tutur katanya kalem, meski penuh ketegasan. Wawasannya luas karena banyak referensi dalam dan luar negeri yang dilahapnya, serta siap menerima pendapat berbeda, asalkan ada landasannya.


“Orang Madura bicara blak-blakan, apa adanya, walaupun bagi sebagian orang dipandang tidak sopan. Mereka tidak bisa bicara halus, padahal menyembunyikan kebenaran,” ujar KH Toha Kholili. Dari namanya, orang segera teringat dengan tokoh legendaris Syaikhona Cholil dari Bangkalan. Kiai Cholil (lahir sekitar 1830-an) adalah pelopor dakwah di Madura yang memiliki murid tersebar di seluruh Jawa Timur. Kiai Cholil punya seorang menantu, Kiai Muntaha, yang mewarisi pesantren di Jangkibuan. Dari garis keturunan Kiai Muntaha inilah nasab Kiai Toha muda.


Meskipun tergolong generasi keempat dari garis perempuan Bani Cholil, posisi Toha sangat penting. Ia mewarisi surat-surat, manuskrip dan buku-buku yang dulu dipergunakan Kiai Cholil untuk mendidik murid-muridnya di pesantren sederhana. Bahkan, “Saya mengoleksi sorban yang beliau pakai serta perlengkapan shalat dan sarana belajarnya. Semua itu masih milik keluarga, belum bisa diperlihatkan kepada publik,” ungkap Kiai Toha. Ia tidak ingin bila sebagian anggota masyarakat ada yang mengkeramatkan benda milik tokoh spiritual di masa lalu itu. Tapi, ia setuju apabila pemerintah daerah atau lembaga manapun yang berkhidmat kepada dakwah ingin mendirikan semacam museum perjuangan Kiai Cholil.


Ia mengetahui langsung segala sepak terjang Kiai Cholil dari ayahnya, sedangnya ayahnya (KH Kholili) menimba informasi langsung dari Kiai Muntaha. Kepada sang menantu inilah Kiai Cholil acap menyerahkan tanggung-jawab dan otoritas dakwah. Salah satunya, tatkala Hasyim Asy’ari pada tahun 1925 bersama 28 kiai dari Tanah Jawa datang ke Bangkalan untuk meminta restu bagi pendirian Nahdlatul Ulama, Kiai Cholil tak bisa menemui mereka. Lalu, Kiai Muntaha disuruh menyambut.


Sebelumnya, pada tahun 1924, Kiai Cholil telah mengutus santri seniornya, As’ad Syamsul Arifin (waktu berusia 27 tahun), untuk pergi ke Tebu Ireng membawa pesan bagi Kiai Hasyim. Tak tanggung-tanggung, sampai dua kali pesan itu dikirimkan. Pesan pertama berupa tongkat dengan kutipan ayat al-Qur’an (Surat Thaha, ayat 17-23). Surat itu bercerita tentang Nabi Musa dianugerahi Allah tongkat mukjizat untuk melawan tirani Fir’aun. Kiai Hasyim bergetar jiwanya, ketika dibacakan ayat itu, sambil menyaksikan santri Kiai Cholil yang datang dengan kelelahan, karena konon harus menempuh perjalanan Bangkalan-Jombang dengan jalan kaki. Pada kali kedua, santri As’ad diminta mengenakan tasbih besar di lehernya, sambil membaca wirid: “Ya Jabbar, ya Qohhar” sebanyak tiga kali, agar di sampaikan kepada Kiai Hasyim.


Karena penasaran dengan pesan tersembunyi dari Kiai Cholil, maka Kiai Hasyim dan kawan-kawannya mendatangi langsung kediaman murid Kiai Nawawi Banten itu di Bangkalan. Ternyata yang harus menemui mereka adalah Kiai Muntaha, kakek dari Kiai Toha. Setelah yakin mendapat restu dari tokoh yang paling disegani, maka Kiai Hasyim Asy’ari bersama tokoh lain mendeklarasikan berdirinya NU di Surabaya, tanggal 31 Desember 1926. “Tapi, Kiai Cholil sebenarnya tidak mendorong terjadinya pengelompokan di tubuh umat, apalagi ta’ashub pada organisasi. Karena saat itu sudah berdiri organisasi Muhammadiyah,” tutur Kiai Toha.

Penilaian itu punya bukti kuat karena Kiai Cholil juga sering berkomunikasi dengan KH Ahmad Dahlan, yang dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah (1912). Bukan hanya itu, Kiai Cholil yang nyentrik cara pengajarannya itu ternyata berhubungan rutin dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang tercatat sebagai pemuka Syarikat Islam. Betapa luasnya pengaruh Kiai Cholil bisa terlihat dari daftar santrinya yang tersebar di berbagai daerah dengan model pesantren beragam.


Karena itu, Kiai Toha prihatin sekali dengan sikap sebagian warga Nahdliyin yang agak tertutup, terutama di tingkat akar rumput. “Mereka sangat loyal terhadap kiainya, bisa dikatakan ada gejala ta’ashub, bila tidak diluruskan. Sehingga begitu ada kelompok, paham, aliran, organisasi, atau partai baru, jika tidak disetujui para kiainya, maka mereka khawatir sekali dengan sesuatu yang baru tersebut,” Kiai Toha mencontohkan. Padahal, sikap dan pemikiran Kiai Cholil sangat terbuka. Kecuali belajar nahwu-sharaf dari Kiai Nawawi Bantani, Kiai Cholil juga tercatat sebagai murid Syekh Khalid al-Misri (dari Mesir), Ali as-Syami (Suriah), dan As-Syinqithi dari India. Ulama terdahulu sudah go global tanpa kehilangan jati diri. Yang jelas, tak ada ulama yang menghalalkan fanatisme kelompok.


Kiai Toha berharap terjadi perubahan sosial signifikan di kawasan Tapal Kuda, bagian dari Provinsi Jawa Timur yang sangat dipengaruhi budaya Madura. Namun, gonjang-ganjing politik seringkali membuat peluang perubahan itu jadi naik-turun, seperti penundaan hasil pemilihan gubernur Jatim saat ini. Mahkamah Konstitusi memutuskan harus dilakukan pemungutan suara ulang di dua kabupaten (Bangkalan dan Sampang) serta penghitungan suara ulang di Pamekasan. Semua pihak menghormati putusan itu, tapi ongkos politik yang harus dikeluarkan negara menjadi sangat besar dan kemungkinan terjadinya gesekan di lapis bawah mulai terasa.

Untuk itu, Kiai Toha tak lelah menyemai dakwah yang merangkul semua kelompok. Dengan tekad tulus ia menyatakan bergabung dalam barisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Segelintir orang menyebut partai anak muda itu merupakan gerakan radikal yang membawa paham Wahabisme. “Saya tidak melihat fenomena itu. Saya kenal kader dan pengurus PKS sangat peduli dengan nasib tenaga kerja di Tanah Suci. Dari situ saya tertarik untuk berkiprah bersama partai dakwah ini,” ucap Kiai Toha, yang sempat berguru kepada Syekh Jabir Jibran asal Mekkah dan Syekh Abdul Karim al-Banjari dari Banjarmasin, saat nyantri di Mekah.


Sikap Kiai Toha mendapat dukungan dari seorang tokoh terkemuka di Pamekasan, KH. Zain Abdulrachman, pendiri Yayasan Darissalam yang tercatat sebagai alumni Pesantren Sidogiri. “Kiai Zain berpesan agar saya berdoa di dekat Multazam untuk perkembangan dakwah demi kebaikan umat dan bangsa,” jelas Kiai Toha, yang ditemui Majalah Profetik di bandara, saat hendak pergi haji.


Dukungan serupa juga diberikan Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron, yang masih tergolong pamannya sendiri. Ketika silaturahim keluarga besar Bani Cholil, sang bupati menghampirinya karena memakai baju koko berlogo bulan sabit kembar mengapit padi emas. “Lho, sampeyan masuk PKS toh. Baguslah, saya dukung!” kata Bupati Fuad dengan spontan. Spirit dakwah baru kini mewarnai pewaris Bani Cholil. Semoga membawa kesejahteraan bagi warga Pulau Garam dan kebangkitan umat di negeri ini.


[Penulis: Saad Saefullah. Dimuat di Majalah Profetik, Edisi II, Desember 2008]

Guru Spiritual Pendiri Bangsa

Tak ada seorang pun penduduk Bangkalan dan Madura yang tak kenal keturunan Bani Cholil. Mereka mewarisi tradisi intelektual panjang, diawali dengan pendirian pondok pesantren di daerah Jangkibuan dan Demangan. Karena perkembangan yang sangat pesat, sejumlah pesantren yang dikelola anak-cucu Kiai Cholil lalu diberi label Al-Kholili di belakangnya, seperti Pesantren Al-Muntaha al-Kholiliyah, Pesantren Nurul Kholil, Pesantren Sirojul Kholil, Pesantren An-Nashiriyah Al-Kholiliyah, dan banyak lagi.


Walau Kiai Cholil dikenal sebagai sesepuh organisasi NU, namun sesungguhnya ia menjadi guru dan teman diskusi bagi para tokoh nasional, termasuk KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (SI), dan A. Hassan (Persis). Bahkan, Soekarno pernah diajak Tjokroaminoto untuk bertemu dan berdiskusi dengan Kiai Cholil beberapa kali. Berikut daftar murid Syaikhona Cholil yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh umat:


1. KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama.

2. KHR. As’ad Syamsul Arifin, Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo.

3. KH. Wahab Hasbullah, Pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947-1971).

4. KH. Bisri Syamsuri, Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.

5. KH. Maksum, Pendiri Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah.

6. KH. Bisri Mustofa, Pendiri Pondok Pesantren Rembang dan ahli tafsir pengarang kitab Al-Ibriz (3 jilid).

7. KH. Muhammad Siddiq, Pendiri Pesantren Siddiqiyah, Jember.

8. KH. Muhammad Hasan Genggong, Pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong.

9. KH. Zaini Mun’im, Pendiri Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

10. KH. Abdullah Mubarok, Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Jawa Barat.

11. KH. Asy’ari, Pendiri Pesantren Darut Tholabah, Wonosari, Bondowoso.

12. KH. Abi Sujak, Pendiri Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.

13. KH. Ali Wafa, Pendiri Pondok Pesantren Temporejo, Jember.

14. KH. Toha, Pendiri Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.

15. KH. Mustofa, Pendiri, Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan.

16. KH Usmuni, Pendiri Pondok Pesantren Pandean Sumenep.

17. KH. Karimullah,Pendiri Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.

18. KH. Manaf Abdul Karim, Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

19. KH. Munawwir , Pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

20. KH. Khozin, Pendiri Pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.

21. KH. Nawawi, Pendiri Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.

22. KH. Abdul Hadi, Lamongan.

23. KH. Zainudin, Nganjuk.

24. KH. Maksum, Lasem.

25. KH. Abdul Fatah, Pendiri Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung.

26. KH. Zainul Abidin, Kraksan, Probolinggo.

27. KH. Munajad, Kertosono.

28. KH. Romli Tamim, Rejoso, Jombang.

29. KH. Muhammad Anwar, Pacul Bawang, Jombang.

30. KH. Abdul Madjid, Bata-bata, Pamekasan.

31. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, Banyuwangi.

32. KH. Muhammad Thohir Jamaluddin, Sumber Gayam, Madura.

33. KH. Zainur Rasyid, Kironggo, Bondowoso.

34. KH. Hasan Mustofa, Garut, Jawa Barat.

35. KH. Raden Fakih, Maskumambang, Gresik.

36. KH. Sayyid Ali Bafaqih, Pendiri Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali


[Penulis Saad Saefullah. Dimuat Majalah Profetik, Edisi 2/Desember 2008]